MERAGUKAN KEASLIAN AL QURAN ??

Tulisan ini adalah kutipan dari dialog tentang keraguan jil dan para orientalis yang mempelajari al quran namun bukan untuk di imani namun mencari titik lemah dari perkara2 syubhat untuk melemahkan iman kaum muslimin berikut sanggahan atas pendapat mereka. Tulisan saya sadur dari forum dialog kotasantri.com

Pernyataan dari orientalis diantaranya

Nabi Muhammad lahir tahun 571 M, meninggal 632 M.

Abu Bakar (632-634) mempercayakan Zayed bin Tsabit untuk menyusun Quran dari ingatan istri-istri dan budak Muhammad dan para sahabat. Zayed berhasil mengumpulkan 7,900 ayat dalam bentuk lembaran-lembaran. Quran ini kemudian diserahkan pada Hafsah untuk disimpan.

Usman (644-656) memerintahkan agar semua salinan Quran yang beredar ditarik dari peredaran dan dibakar. Zayed kembali diperintahkan untuk menyusun dan menulis ulang Quran yang disimpan oleh Hafsah (janda Muhammad; adik Umar). Hasilnya sekitar 6,241 ayat. Jadi ada sekitar 1,659 ayat yang dihilangkan.

Abu Al-Aswad Al Doaly menaruh titik-titik sebagai tanda baca selama masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sofyan (661-680).

Huruf-huruf lalu ditambahkan beragam titik oleh Nasir bin Asem dan Hayy bin Ya'amor pada masa Abdul Malik bin Marwan (685-705).

Sistem penandabacaan yang lengkap dengan vokal (a,i,u) diciptakan oleh Al Khalil bin Ahmad Al Farahidi (wafat 786).

Kesimpulan:

- Quran edisi sekarang (edisi kelima) pertama kali ada sekitar tahun 705-786. Berarti sejak wafatnya Muhammad, ada jarak 154 tahun (786 minus 632 = 154).

- Quran edisi pertama adalah lembaran-lembaran yang dipegang Hafsah. Dibuat sekitar 2 tahun setelah kematian Muhammad. Berisi 7,900 ayat.

- Quran edisi kedua adalah yang di "standarisasi" Usman. Dibuat sekitar 24 tahun setelah kematian Muhammad. Edisi ini belum memiliki tanda baca, titik pada huruf, maupun vokal. Berisi 6,241 ayat.

- Quran edisi ketiga adalah keluaran masa Muawiyah. 48 tahun setelah Muhammad. Ada tanda bacanya, tetapi belum ada titik dan vokal.

- Quran edisi keempat adalah keluaran masa Marwan. 73 tahun setelah Muhammad. Ditambahkan titik pada hurufnya.

- Ada banyak versi Quran pada masa Usman yang isinya sampai sekarang kita tidak mungkin tahu, karena sudah dihancurkan.

- Dalam masa 100-150 tahun, besar kemungkinan Quran sudah berubah isinya.

Sanggahan atas pendapat diatas...

Keotentikan Al Qur'an

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami yang mengatakan, “Mereka yang membacakan Alquran kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan bahwa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Alquran berikut ilmu dan amalnya sekaligus’.”

Rasulullah saw. tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya, selain Alquran, karena beliau khawatir akan tercampur dengan yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Alquran, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia menempati tempatnya di api neraka.”

Sekalipun setelah itu Rasulullah saw. mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadits, tetapi hal yang berhubungan dengan Alquran tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah saw. di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.

Sumber-sumber sepakat untuk mengatakan bahwa tiap kali suatu fragmen daripada Qur-an diwahyukan, Nabi memanggil seorang daripada para sahabat-sahabatnya yang terpelajar dan mendiktekan kepadanya, serta menunjukkan secara pasti tempat fragmen baru tersebut dalam keseluruhan Qur-an. Riwayat-riwayat menjelaskan bahwa setelah mendiktekan ayat tersebut, Nabi Muhammad minta kepada juru tulisnya untuk membaca
apa yang sudah ditulisnya, yaitu untuk mengadakan pembetulan jika terjadi kesalahan. Suatu riwayat yang masyhur mengatakan bahwa tiap tahun pada bulan Ramadlan, Nabi Muhammad membaca ayat-ayat Qur-an yang sudah diterimanya di hadapan Jibril. Pada bulan Ramadlan yang terakhir sebelum Nabi Muhammad meninggal, malaikat Jibril mendengarkannya membaca (mengulangi hafalan) Qur-an dua kali.Beberapa sumber menambahkan bahwa pada pembacaan Qur-an yang terakhir di hadapan Jibril, juru tulis Nabi Muhammad yang bernama Zaid hadir. Sumber-sumber lain mengatakan bahwa di samping Zaid juga ada beberapa orang lain yang hadir.

Tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 632 M.), penggantinya (sebagai Kepala Negara), yaitu Abu Bakar, Khalifah yang pertama, minta kepada juru tulis Nabi, Zaid bin Tsabit untuk menulis sebuah Naskah; hal ini ia laksanakan. Atas initiatif Umar (yang kemudian menjadi Khalifah kedua), Zaid memeriksa dokumentasi yang ia dapat mengumpulkannya di Madinah; kesaksian daripada penghafal Qur-an, copy Qur-an
yang dibikin atas bermacam-macam bahan dan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi, semua itu untuk menghindari kesalahan transkripsi (penyalinan tulisan) sedapat mungkin. Dengan cara ini, berhasillah tertulis suatu naskah Qur-an yang sangat dapat dipercayai.

Kemudian Umar bin Khathab yang menggantikan Abu Bakar pada tahun 634 M, menyuruh bikin satu naskah (mushaf) yang ia simpan, dan ia pesankan bahwa setelah ia mati, naskah tersebut diberikan kepada anaknya perempuan, Hafsah janda Nabi Muhammad Khalifah ketiga, Uthman bin Affan yang menjabat dari tahun 644 sampai 655, membentuk suatu panitya yang terdiri daripada para ahli dan memerintahkan untuk melakukan pembukuan besar yang kemudian membawa nama Khalifah tersebut. Panitya tersebut memeriksa dokumen yang dibuat oleh Abubakar dan yang dibuat oleh Umar dan kemudian disimpan oleh Hafsah, panitya berkonsultasi dengan orang-orang yang hafal Qur-an.

Kritik tentang autentisitas teks dilakukan secara ketat sekali. Persetujuan saksi-saksi diperlukan untuk menetapkan suatu ayat kecil yang mungkin
mempunyai arti lebih dari satu; kita mengetahui bahwa beberapa ayat Qur-an dapat menerangkan ayat-ayat yang lain dalam soal ibadat. Hal ini adalah wajar jika kita mengingat bahwa kerasulan Muhammad adalah sepanjang dua puluh tahun.
Dengan cara tersebut di atas, diperolehlah suatu teks di mana urutan Surat-surat mencerminkan urutan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika membaca Qur-a:n di bulan Ramadlan di muka malaikat Jibril seperti yang telah diterangkan diatas.
(mushaf) Uthman di Tasykent dan Istambul. Jika kita sadar akan kesalahan penyalinan tulisan yang mungkin terjadi, manuskrip yang paling kuno yang kita miliki dan yang ditemukan di negara-negara Islam adalah identik. Begitu juga naskah-naskah yang ada di Eropa. (Di Bibliotheque National di Paris terdapat fragmen-fragmen yang menurut para ahli, berasal dan abad VIII dan IX Masehi, artinya berasal dari abad II dan III Hijrah). Teks-teks kuno yang sudah ditemukan semuanya sama, dengan catatan ada perbedaan-perbedaan yang sangat kecil yang tidak merubah arti teks, jika konteks ayat-ayat memungkinkan cara membaca yang lebih dari satu karena tulisan kuno lebih sederhana daripada tulisan sekarang.

Keaslian Al-Quran & Kesalahan Orientalis

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, Al-Quran pada dasarnya bukanlah 'tulisan' (rasm atau writing) tetapi merupakan 'bacaan' (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan 'membaca' Al-Quran adalah "membaca dari ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin, atau to recite from memory)." Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Quran dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.

Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.

Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.

Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orientalis seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.

Akibatnya, mereka menganggap Al-Quran sebagai karya sejarah (historical product), sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 Masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karenanya perlu membuat edisi kritis (critical edition), merestorasi teks Al-Quran dan menerbitkan naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada

Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Quran juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah saw., hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela ayat-ayat yang mereka tulis. Baru di kemudian hari, ketika jumlah penghafal Al-Quran menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') Al-Quran mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakar as-Siddiq sehingga Al-Quran dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawattir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abu Bakar as-Siddiq r.a. (13 H/ 634 M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a. sampai beliau wafat (23 H/ 644 M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah komisi ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata ulang semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawattir yang disepakati kesahihan periwayatannya dari Nabi saw. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

Para orientalis yang ingin mengubah-ubah Al-Quran biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Jeffery, misalnya, seenaknya mengatakan, "That he [i.e. Abu Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful." Ia juga mengklaim bahwa "…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text."

Ketiga, salah-faham tentang rasm dan qira'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Quran ditulis 'gundul', tanpa tanda-baca sedikitpun.

Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Quran langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings --sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel-- serta keliru menyamakan qira'aat dengan 'readings', padahal qira'aat adalah 'recitation from memory' dan bukan 'reading the text'.

Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam ("ar-rasmu taab'iun li ar riwaayah") dan bukan sebaliknya.

Orientalis seperti Jeffery dan kawan-kawan yang bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel; Al-Quran bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya; manuskrip lahir dari Al-Quran.

Arthur Jeffery yang datang tahun 1937 yang berambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam ‘mushaf tandingan’ (ia istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Quran (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yg belum lama ini di “amini” kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.

Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing and influence). Sebagian mereka bahkan berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi 'teori pinjaman dan pengaruh' itu, terutama dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain). Ada pula yang membandingkan ajaran Al-Quran dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka katakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Quran banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.

Al-Quran merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw. khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. Bagi mereka, Musa atau 'Moses' cuma tokoh fiktif belaka (invented, mythical figure) dalam dongeng Bibel, sementara tokoh ‘Jesus’ masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan-jempol.

Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian 'Jesus historis', mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah hidup Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka.