Tulisan dibawah adalah tulisan Luthfi Assyaukanie seorang tokoh JIL yang belajar banyak dari para orientalis yang tiada henti2nya berusaha melemahkan iman kaum muslimin. Menarik penjelasan dari sdr Luthfie untuk dipaparkan sebagai bahan perbandingan keilmuan bagi kita yang tentu saja belum tentu pendapat yang diutarakannya adalah benar. Bila setelah membaca ini lalu anda bimbang akan keaslian al quran yg ada ditangan anda, segera konsultasikan kepada ustadz anda atau gali lebih banyak lagi pendapat ulama mengenai keaslian al quran ini. Atau baca pula ini


Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah
inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya
pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan
standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam
beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan
(diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi
lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi
Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti
yang kita kenal sekarang.

Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya
standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa
Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh
keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat
beragamanya versi Alquran yang beredar.

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya
ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan
Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan
versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.

Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur
kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan
standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan menjadi
bagian dari proyek-- penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek
amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika
tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu
kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang
sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati
tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan
membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak
benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran
hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain
yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).

Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni
versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah
kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan
bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.

Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat)
yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu
sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga
zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar
di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi
al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi
yang menggunakan versi Hafs dari Asim.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul
pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari
beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu.
Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan
ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu
standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan "Mushaf Uthmani," pada
masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-- mushaf yang
dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki
mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal
bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.

Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran
yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn
Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas'ud tidak
menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang
ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An'am, tapi surah
Yunus.

Ibn Mas'ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai
bagian dari Alqur'an. Sahabat lain yang menganggap surah "penting" itu bukan
bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan
surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para
ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya
merupakan "kata pengantar" saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab
suci.

Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian
dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang
mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah "ungkapan
liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi populer
masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi
mendukung fakta ini: "siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan
alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi
sia-sia."

Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat
dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi
dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: "pada masa Nabi, surah
al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya
menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat]." Pandangan Aisyah juga didukung
oleh Ubay bin Ka'b, sahabat Nabi yang lain, yang di dalam mushafnya ada dua
surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal' dan
al-Hafd.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar
seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan.
Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian
lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku 'ulum al-Qur'an,
adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada
masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.

Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan
dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau
para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal
ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar
pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab
al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah
bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari
karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup
kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).

Sejarah penulisan Alqur'an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai
(w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248
H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai
pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya
masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf
al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan
11 mushaf para pengikut (tabi'in) sahabat Nabi.

Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa
mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya
lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar
bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa
melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para
pewaris varian bacaan non-Uthmani.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya
varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu
umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan
kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian
muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat
(scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari') dari kata a-l-m bisa
dibaca yu'allimu, tu'allimu, atau nu'allimu atau juga menjadi na'lamu, ta'lamu
atau bi'ilmi.

Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan
bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas'ud
berulangkali menggunakan kata "arsyidna" ketimbang "ihdina" (keduanya
berarti "tunjuki kami") yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu
juga, "man" sebagai ganti "alladhi" (keduanya berarti "siapa"). Daftar ini
bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti "al-talaq"
menjadi "al-sarah" (Ibn Abbas), "fas'au" menjadi "famdhu" (Ibn Mas'ud),
"linuhyiya" menjadi "linunsyira" (Talhah), dan sebagainya.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H,
Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah,
memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah
membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid
memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah),
Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan
Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang
mengatakan bahwa "Alquran diturunkan dalam tujuh huruf."

Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah
semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih.
Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat
kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang
pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di
antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.

Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan
pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang
banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran
yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang
dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim
lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika
beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi
dan pengaruhnya sangat terbatas.