FATWA HARAM GOLPUT MUI KENAPA DITERTAWAKAN?

Sebelum berkomentar banyak mengenai fatwa MUI yang "katanya" mengharam golput, dibawah saya kutip fatwa MUI yang dikeluarkan pada Forum Ijtima' Ulama di Padang Panjang Sumatra Barat tanggal 24-26 januari 2009

Fatwa MUI ini keluar untuk merespon pertanyaan berbagai kalangan seputar golput, namun tidak banyak yang tahu fatwa ini adalah hanya memberikan guidence atau panduan pada umat tentang kepemimpinan dalam Islam, dan tidak masuk dalam ranah politik praktis.

Sayangnya, jarang media yang memberitakan isi dari fatwa tersebut. Sehingga masyarakat justru terjebak dengan headline beberapa media yang seakan-akan MUI melibatkan diri dalam ranah politik praktis. Padahal kalau kita baca dari naskahnya, fatwa itu berbunyi sebagai berikut:

1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat.

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.


Selanjutnya fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni:
(1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.
(2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.

Fatwa Ijtima’ Ulama tersebut penetapannya berdasarkan QS Annisa’ 59 "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Dan beberapa hadits shahih seperti HR Bukhori :” Barang siapa mati sementara di pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Dasar fatwa ini juga atsar para sahabat, kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah serta pandangan Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sulthoniyah, serta peraturan perundangan di Indonesia.

Bila kita perhatikan isi dari fatwa diatas, paling tidak ada dua point yang kita dapat tarik garis lurus yaitu,
WAJIB memilih pemimpin yang syar'i dan HARAM memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat syar'i. Lalu salahkah MUI bila menegaskan kembali hukum syar'i mengenai kepemimpinan sesuai dengan Al Qur'an dan Hadits ?

Seperti kita ketahui teman2 dari beberapa unsur islam telah jauh-jauh hari menyatakan golput malah ada beberapa yang mengharamkan pemilu. Diantara mereka adalah kaum salafy, hizbuttahrir dan berbagai elemen masyarakat lain. Tak kurang Gus Dur pun menyerukan golput.

Bila dianalogikan setengah dari pemilih adalah golput, berarti setengah dari +-170jt adalah 85jt (jumlah pemilih terdaftar di indonesia 170jt). Maka 85jt orang pemilih itu yang akan menentukan kelanjutan pemerintahan di indonesia. Bila 85jt orang itu sebagian besarnya adalah golongan yang "buruk " dalam arti pemilih yg memilih berdasar uang yang masuk kekantongnya alias disuap, pemilih yang berharap mendapat imbalan jabatan dari caleg yang terpilih atau pemilih yang tidak memilih pemimpin yang beriman, jujur dll maka dapat dipastikan calon pemimpin atau wakil rakyat indonesia dimasa depan adalah politikus buruk atau bahkan busuk.

Bila dikatakan pemilihan wakil rakyat tidak berhubungan langsung dengan prosesi kepemimpinan indonesia sehingga kewajibannya hanya fardhu kifayah dalam arti kewajibannya akan gugur bila warga yang lain telah ikut memilih. Lalu jangan heran jikalau produk undang2 yang dibuat wakil rakyat kita adalah undang2 yang buruk rupa.

Kita masih ingat betapa sulitnya menge golkan RUU anti pornograpi padahal isinya hanya bentuk dorongan moral agar pornograpi tidak disiarkan dimass media namun ditentang habis2an atas nama kebebasan berekspresi atau kita masih ingat susahnya menge golkan RUU pendidikan yang hanya ingin memasukan kata2 "setiap murid berhak mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agamanya masing2" yang kita ketahui banyak murid islam yang bersekolah di sekolah2 agama lain.

Keprihatinan inilah yang ditangkap oleh MUI. Jangan sampai didalam umat islam sendiri masih saling cakar2an dan adu argumen/dalil tentang pemilu, sedang pemilu tetap berjalan dan calon pemimpin yang sebenarnya sudah ada yang beriman, jujur, amanah malah tidak terpilih namun malah politikus busuk yang melenggang sebagai pemimpin di indonesia. Mau dikemanakan negeri ini atau mau dikemanakan umat islam yang dipimpin oleh pemimpin yang tidak memperjuangkan kepentingan agama mayoritas dinegerii ini ??

Lalu bagaimana anda menafsirkan fatwa MUI ini ?...